19 April 2025
PBNU Menyayangkan Pergub DKI Jakarta yang Dinilai Normalisasi Poligami

Sumber: antaranews.com

Sekilas Jatim – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan penyesalannya atas terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 yang mengatur Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian. Pergub yang diterbitkan oleh Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi, dianggap oleh PBNU sebagai langkah yang dapat menormalisasi praktik poligami, yang menurut mereka berpotensi merugikan hak-hak perempuan.

Alissa Wahid, yang menjabat sebagai Ketua PBNU Bidang Kesejahteraan Keluarga, menekankan bahwa meskipun poligami diperbolehkan dalam agama Islam, hal ini seharusnya tidak dimaknai sebagai sesuatu yang bisa dengan mudah diterapkan tanpa mempertimbangkan banyak aspek. Ia berpendapat bahwa kebijakan yang mengatur poligami dalam Pergub ini justru memberi kesan bahwa poligami adalah hal yang wajar dan bisa diterima begitu saja. Hal ini, menurut Alissa, memperburuk pandangan terhadap perempuan, yang seolah diposisikan hanya sebagai objek.

Alissa juga menjelaskan bahwa Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia, meskipun tidak melarang poligami dalam ajaran agama Islam, memiliki aturan yang jelas tentang hak dan kewajiban dalam perkawinan. Dengan adanya Pergub ini, ada kecenderungan bahwa poligami dipandang lebih sebagai solusi atas masalah dalam rumah tangga, tanpa memperhitungkan kemaslahatan bagi pasangan tersebut atau masyarakat secara lebih luas.

Salah satu poin dalam Pergub yang menimbulkan kontroversi adalah syarat yang mengatur bahwa seorang istri dapat dibenarkan untuk dipoligami apabila ia tidak bisa menjalankan kewajibannya, mengalami cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak mampu melahirkan keturunan setelah 10 tahun perkawinan. Menurut Alissa, syarat-syarat seperti ini tidak hanya mengobjektifikasi perempuan, tetapi juga tidak mencerminkan prinsip keadilan yang seharusnya ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Ia juga mempertanyakan mengapa kebijakan semacam ini bisa diterapkan di negara yang seharusnya lebih mengutamakan kemaslahatan bagi rakyat. Dalam pandangannya, negara seharusnya lebih fokus pada kesejahteraan dan keadilan, bukan pada apakah sesuatu boleh atau tidak dilakukan. Ia mengingatkan bahwa dalam Islam, meskipun poligami itu halal, harus ada pertimbangan mengenai baik atau tidaknya tindakan tersebut, serta apakah tindakan tersebut pantas dilakukan.

Alissa menegaskan bahwa seharusnya pemerintah lebih fokus pada upaya mendidik Aparatur Sipil Negara (ASN) agar menghindari praktik poligami, alih-alih memberikan izin atas praktik tersebut. Dengan memberikan pelatihan dan edukasi kepada ASN, diharapkan mereka dapat memahami konsekuensi dan dampak negatif dari poligami, serta memupuk kesadaran akan pentingnya hubungan yang sehat dan adil dalam keluarga.

Sebelumnya, pada tanggal 6 Januari 2025, Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi, telah menerbitkan Pergub Nomor 2 Tahun 2025 yang mengatur prosedur pemberian izin bagi ASN pria yang ingin berpoligami. Dalam Pergub tersebut, seorang ASN pria diwajibkan untuk memperoleh izin dari pejabat yang berwenang sebelum menikah lagi. Jika seorang ASN melanggar peraturan ini dengan menikah tanpa izin, ia akan dikenakan sanksi disiplin berat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Keberadaan Pergub ini memicu reaksi negatif dari berbagai kalangan, termasuk PBNU, yang merasa kebijakan ini berpotensi menimbulkan dampak sosial yang merugikan masyarakat, terutama perempuan. Masalah ini menjadi sorotan publik karena dianggap tidak sejalan dengan upaya pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *